Sistem Pembuktian pada Tindak Pidana Korupsi: Pembalikan Beban, Aset Recovery, dan Standar Pembuktian
Abstract
Artikel ini membahas cara kerja pembuktian dalam perkara korupsi di Indonesia. Tiga hal utama dibahas: (1) dasar sistem pembuktian kita, hakim boleh memidana jika ada minimal dua alat bukti dan keyakinan hakim; (2) pembalikan beban pembuktian yang terbatas, terutama pada gratifikasi dan penjelasan asal-usul harta, untuk menutup kesenjangan informasi tanpa menghapus kewajiban jaksa membuktikan unsur delik; dan (3) pemulihan aset (asset recovery) melalui pelacakan, pembekuan, penyitaan, perampasan, dan pengembalian, dengan dukungan aturan Tipikor, TPPU, dan UNCAC, serta perlindungan bagi pihak ketiga yang beritikad baik. Penelitian memakai metode yuridis normatif, bersumber dari undang-undang, putusan pengadilan, dan literatur. Temuan utama: perkara korupsi banyak bergantung pada rangkaian bukti tidak langsung seperti follow the money, analisis kekayaan, dan bukti elektronik yang diuji keaslian, keutuhan, dan keandalannya serta rantai penguasaan yang rapi. Standar pembuktian bertingkat dipakai sesuai tujuan: tinggi untuk memidana (beyond reasonable doubt), lebih ringan untuk tindakan sementara (alasan yang beralasan), dan keseimbangan probabilitas untuk jalur perdata/NCB. Artikel ini mengajukan langkah praktis agar pembuktian lebih efektif sekaligus tetap adil.