Dekonstruksi Wajah Hukum Indonesia Dalam Bayang-Bayang Rule By Law, Antara Pedang Dan Topeng
Abstract
Indonesia secara konstitusional ditegaskan sebagai negara hukum (rule of law) melalui Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Namun, dalam praktiknya, wajah hukum Indonesia kerap menampilkan paradoks: di satu sisi berfungsi sebagai “pedang” penegak keadilan, di sisi lain berubah menjadi “topeng” yang menyembunyikan kepentingan kekuasaan melalui praktik rule by law. Fenomena ini mengemuka pada tahun 2024, ditandai oleh korupsi struktural, kriminalisasi aktivis, dan politisasi penegakan hukum. Artikel ini bertujuan untuk mendekonstruksi dualitas tersebut dan mengusulkan reorientasi menuju hukum yang responsif dan berkeadilan. Penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan analisis konseptual dan perundang-undangan, mengacu pada teori hukum responsif Nonet & Selznick, kritik eksistensial Kafka, prinsip utilitarianisme Bentham, serta pendekatan sistem hukum Friedman. Analisis menunjukkan bahwa hukum Indonesia cenderung bergeser dari watak otonom ke represif, dengan lemahnya partisipasi publik, minimnya akuntabilitas institusi, dan dominasi pertimbangan politis dalam penegakan hukum. Metafora “pedang dan topeng” merefleksikan ketegangan antara idealitas konstitusional dan realitas rule by law, di mana hukum digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan, bukan mekanisme perlindungan hak warga negara. Reformasi tidak cukup hanya pada tataran substansi, tetapi harus menyentuh struktur (terutama aparat penegak hukum) dan budaya hukum yang berakar pada pendidikan budi pekerti dan kesadaran HAM. Artikel menyimpulkan bahwa masa depan hukum Indonesia bergantung pada pilihan: melanjutkan logika rule by law yang elitis dan represif, atau berani beralih ke rule of law yang substantif, partisipatif, dan berkeadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

